Postingan

Sengsara adalah kamu

Bara yang kamu bawa, ternyata hanya bara kosong yang mengimitasi bara yang menyala di luar sana Menggebu kamu berteriak seolah kamulah yang paling sengsara padahal sengsara adalah kamu Menebar luka dan membalutnya dengan diam dan hilang, seperti biasa Sadarkah kamu, bahwa kehampaan yang kamu rasakan itu menular? Kekosongan dan kesedihan kamu sudah menjadi beban bagi mereka yang mendekat Hina diri mu, maki diri mu, dan kasihani diri mu terus menerus! Ayo, tangisi diri mu! Kamu bakar cahaya demi cahaya yang menerangi pandangan gelap mu Manusia penuh dusta dan omong kosong, nyaring bunyinya, dangkal. Pengecut! Bodohnya mereka membiarkan pecundang sepertimu membakar habis lilin terakhirnya Beruntungnya mereka yang bisa memberikan mu sedikit rasa pedih dan membuang mu dengan nyata Kamu, adalah kesalahan terbesar yang ada dalam diriku Kesengsaraan adalah bahasa kasih darimu Kepedihan adalah bentuk peduli bagimu Kebodohan adalah kelebihanmu Empati adalah hal yang tidak akan pernah ada pada di

1 PM Thoughts at Shelterville.co

Turns out it is true what they have said, that " the road to success is often a lonely road ". It is lonely, so lonely it gets freezing inside. I'm the type of a person that tend to relish to be a part of something, but most of the times I do also enjoy sharing times on my own.  I did not expect that even in the crowds, nor on my own, I still am feel cold a little bit inside. Feeling left out, feeling not belong, feeling superior yet insecure, feeling undeserving, yet feeling I could do so much more than this all at once. But then along with joy, anger, and sadness. Is a person be able to feel those everything, every time, with everyone all at once? I've heard on a TEDTalks from a 7 year old young girl that " peek a boo " game that adults do to the children could change the world, especially on their first 5 years on earth. I wondered how could that be, so I watched the video till the end. Briefly she pointed out that when adults tend to play with their chil

Antara

Dalam cahaya redup lampu neon, Kau hadir bak bintang yang hilang, Menyentuh jiwa yang terhanyut sepi, Mengukir luka di relung hati yang dalam. Di setiap jengkal jalan, Ada jejak langkahmu tertinggal, Semerbak harumnya angin malam, Menyeruak dalam ingatan yang membara. Rindu ini, laksana lagu yang terputar, Melodi indah penuh rasa, Namun terhenti di ujung nada, Menjadi kenangan pahit yang tak terlupa. Di antara hampa dan bahagia, Kau adalah sajak yang tak berujung, Setiap bait mengalun lembut, Menggugah rasa yang terpendam, tak terungkap.

Kedataran mendatangkan Malapetaka.

Suara mendering sangat pekik, sampai dalam mimpi, semula dalam laut, lalu dalam panggung. Aku beranjak dari singgahsana ternyaman, untuk membanjiri luka berjalan dengan elemen sendu nan tenang. Bersiap untuk bertemu dengan sumber senyum, dan kontemplasi di hari lalu. Ritual bercermin hari ini tidak seperti hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun lalu. Tidak ada senyum atau kembang api dalam diri yang menghampiri, hanya ketegaran dan upaya untuk tetap kokoh, disusul dengan diafragma yang kembang kempis terlalu lama. Hari ini aku masih berupaya untuk bangkit, masih berjuang untuk melangkah, mengulurkan seluruh tenaga yang alam bawah sadarku pun meronta, berteriak tuk pergi. Ombak yang sejuk dan tenang, gemuruh kicauan burung yang berlarian di langit, senantiasa menemani dalam dunia yang lain. Aku rindu, aku rindu tidak terikat, kekufuran bahkan sudah tak layak untuk diperdebatkan, maupun dipertimbangkan. Aku bersyukur, namun kesyukuranku tak mampu meniadakan rasa lara yang begitu dalam k

Tak Terucap

Kau datang dan pergi, seperti awan yang menggelap di atas langit, membawa hujan tanpa permisi, merusak hari-hari cerahku, tapi ada sesuatu tentangmu yang membuatku terjebak. Kau bercerita dengan tatapan, mengisahkan kisah yang tak pernah terucap, dan aku, dalam kekosongan ini, menyimpan rasa yang tak terduga, cinta yang terselubung dalam keraguan. Ada saat-saat ketika aku ingin berkata, “Apakah kau merasakannya juga?” Namun, kata-kata ini terdiam, terjebak dalam kebisingan perasaanku, seolah-olah harapanku terbenam dalam lautan keraguan. Jadi, di antara keduanya, Aku berjalan tanpa arah, di mana langkahku bergetar, dan setiap detak jantungku adalah pengingat, bahwa kita adalah cerita yang tak terucapkan.

Dalam Pelukan Kenangan

Di antara bayangan yang samar, Aku berdiri di persimpangan, di mana luka lama bertemu harapan baru, sering kali, mataku terhenti, menanti sosok yang tak pernah sepenuhnya pergi. Kau hadir seperti embun pagi, membawa harum kenangan manis, namun dalam setiap detak jantung, ada rasa yang terjebak, terkurung, satu suara berbisik: "Haruskah kita mengulang cerita?" Dalam sunyi, Aku merindukan senyummu, meski hatiku terikat pada yang lain, kapan semua ini akan berhenti? Kau tahu, kan? Bahwa cinta ini—meski terlarang—takkan pernah pudar. Malam-malam ini, setiap bintang di langit mengingatkanku padamu, seperti halusnya bisikan angin, menyentuh relung hati yang terluka, memanggil kembali perasaan yang tak terkatakan. Namun, dalam perjalanan ini, Aku tahu, kita tak mungkin bersatu, seperti dua jalur yang takkan pernah bertemu, Aku akan melepaskan, pelan-pelan, meski rasanya sulit, meski ada kesakitan.

Dalam Cakrawala Kecewa

Dalam cahaya temaram, aku berdiri di batas kesabaran, dihimpit rasa marah yang membara, ketika langkahmu beriring dengan bayanganku, tapi tanpa memberi ruang untukku. Kau datang, seolah tanpa beban, mengundang tawa dan cerita, namun setiap senyummu menambah luka, setiap pertemuan, kau abaikan kehadiranku, seakan aku tak lebih dari bayangan di sudut. Dalam detik-detik yang hilang, aku berusaha mengerti, apa yang kau cari dalam perjalanan ini, apakah aku sekadar pemanis dalam hidupmu, saat kau butuh sandaran, ketika tak ada yang lain? Ketika kau duduk bersamanya di antara tawa dan obrolan hangat, aku merasakan bara api yang menjulang tinggi, seolah semua usaha yang kupersembahkan, hanyalah setetes air di lautan egomu.